Selasa, 13 November 2012

Filsafat Al-ghazali


MAKALAH
AL - GHAZZALI

PEMBAHASAN
AL - GHAZZALI
1.      Riwayat Hidup Al-Ghazali
Namanya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, mendapat gelar Hujjatul Islam. Ia lahir tahun 450 H. Di Thus., suatu kota kecil di Khurasan (Iran). Nama Al-Ghazali kadang-kadang diucapkan Al-Ghazzali (dua z). Kata ini berasal dari ghazzal, artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah Al-Ghazali adalah memintal benang wol. Sedangkan Al-Ghazali, dengan satu z, diambil dari kata ghazalah, nama kampung kelahiran Al-Ghazali, yang terakhir inilah yang banyak dipakai.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang saleh. Ia meninggal dunia ketika Al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi, sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedua anaknya itu kepada kepada seorang tasawuf pula untuk dibimbing dan dipelihara.
Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam Al-Juwaini sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H./1085 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nizam Al-Malik di kota Mu’askan. Daripadanya ia mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang besar sehingga ia tinggal di kota itu selama enam tahun. Pada tahun 483 H./1090 M. Ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamiah Baghdad. Pekerjaan itu dilaksanakannya dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniah, Ismailiyah, golongan filsafat, dan lain-lain.[1]
Sementara itu, ia tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya sehingga ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati. Pekerjaannya itu kemudian ditinggalkannya pada tahun 488 H. Untuk pergi ke Damsyik. Di kota ini ia merenung, membaca, dan menulis, selama kurang lebih lima tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.
Kemudian ia pindah ke Palestina. Di sini pun ia tetap merenung, membaca, dan menulis dengan mengambil tempat di Masjid Baitil Maqdis. Sesudah itu, tergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji. Setelah selesai, ia pulang ke negeri kelahirannya, kota Thus. Di sana ia tetap berkhalwat dan beribadah. Keadaan itu berlangsung selama 10 tahun sejak dipindahkannya ke Damsyik. Dalam masa ini ia menuliskan buku-buku yang terkenal, antara lain Ihya ‘Ulumuddin.
Karena desakan para penguasa, yaitu Muhammad, saudara Barkhijaruk, Al-Ghzali mau kembali mengajar di sekolah Nidzamiyah di Naisabur pada tahun 499 H. Tetapi, pekerjaan ini hanya berlangsung selama dua tahun. Akhirnya ia kembali ke kota Thus lagi. Di sana kemudian ia mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara untuk para mutasawwifin. Di kota itu pula ia meniggal dunia pada tahun 505 H./1111 M. Dalam usia 54 tahun.

2.      Hasil Karya
Karya al-ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah  :
a.       Maqoshid Al-falasyifah (tujuan – tujuan para filusuf), sebagai karangannya ynag pertama dan berisi masalah-masalah filsafat.
b.      Tafahut al-falasifah (kekacauan pikiran para filusuf), buku ini dikarang sewaktu ia berada di Baghdad.
c.       Mi’yar al-ilm (criteria ilmu-ilmu)
d.      Ihya ulum al-dien (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalm keadaan berpinndah-pindah antara Damaskus, Yerusalem, Hijjaz, dan Thus yang berisi paduan antara pikih, tasawuf, dan filsafat.
e.       Minhaz Al-Abidin (jalan mengabdikan diri kepada Tuhan)
f.       Al-iqtishab fi al-I’tiqod (moderasi dalam aqidah), dan masih banyak lagi karangan atau karya besarnya.
3.      Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
a.       Efistimologi
Sebagaimana dijelaskan Al-ghazali dalm bukunya Al-munqidz min al-dhalal,[2] ia ingin mencari kebenaran yang sejati yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul kebenaran, seperti kebenaran 10 lebih banyak dari 3. “sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa 3 itu lebih banyak dari 10 dengan argument bahwa tongkat dapat  ia jadikan ular, dan hal itu memang betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa 10 lebih banyak dari tiga tidak akan goyah”. Seperti inilah menurut al-ghazali pengetahuan yang sebenarnya.
Pada mulanya al-ghazali beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra. Tetapi, kemudian ternyata baginya bahwa panca indra juga berdusta. Contohnya, sikap skeptic yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama, telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan indrawi, bahkan keragu-raguan ini semakin mendalam, dengan perkataannya : “bagaimana pengetahuan indrawi itu bisa diterima. Seperti misalnya penglihatan sebagai indra yang terkuat. Ketika engkau melihat bayangan di sangkarnya diam, tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, sesudah beberapa saat, engkau melihat bahwa bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, hingga diketahui sebenarnya bayanga itu tidak mengenal diam. Demikian pula ketika engkau melihat bintang, maka dikira ia kcil sebesar uang dinar, tetapi se benarnya menunjukan bahwa bintang itu lebih besar dari pada bumi.”
Karena tidak percaya kepada panca indra,  al-ghazali kemudian meletakan kepercayaannya kepada akal. Tetapi, akal juga tidak dapat dipercaya. Sewaktu bermimpi, demikian menurut al-ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar.
Ketiaka menguji pengetahuan indrawi ia menggunakan argumentasi factual atas kelemahannya. Tetapi ketika membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal, ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotetis (fardhi) saja. Ketika ia mendapat  nur ilahi yang disebut juga oleh al-ghozali sebagai kunci ma’rifat kedalam hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian bagi al-ghozali bahwa  al-dzawq(intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercanya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya.
b.      Metafisika
Lain halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan) al-ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-platonisme islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsup. Kekeliruan filsuf tersebut ada sebanyak 20 persoalan (16 dalm bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika) dalam 17 soal mereka harus dinyatakan sebagai Ahl Al-bida, sedangkan dalam 3 soal lainnya mereka dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka dalam 3 soal tersebut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimin. Diantaranya :
1.      Alam qodim (tidak bermula)
2.      Keabadian alam, masa, dan gerak.
3.      Argument rasional bahwa tuhan bukan tubuh (jism)
3 persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah :
1.      Alam kekal (qodim) atau abadi dalam arti tidak berawal
2.      Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang particular yang terjadi di alam.
3.      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani di akhirat.
c.       Moral
Ada 3 teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak ; (1). Mempelajari  akhlak sekedar sebagai study murni teoritis, yang berusaha memahami ciri kesusilaan (moralitas) tetapi tanpa maksud mempengaruhi prilaku orang yang mempelajarinya. (2). Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan prilaku sehari-hari. (3). Karena akhlak terutama merupakan subjek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral.
Al-ghazali setuju ddengan teori ke-2. Dia menyatakan bahwa study tentang al-ilm al-muamalah dimaksudkan guna latihan kebiasaan, tujuan latihan adalah untuk meningkatkan keadaan jiwa agar kebahagaiaan dapat dicapai di akahirat.[3]
d.      Jiwa
Menurut al-ghazali  manusia diciptakan oleh Allah sebagi manusia yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifah robbaniyah rohaniyah) istilah-istilah yang digunakan Al-ghazali uuntuk itu adalah al-qalb, ruh, nafs, dan aql.
Jiwa bagi al-ghazali adalah suatu zat (zauhar) dan bukan suatu keadaan atau aksiden, sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya berrgantung pada jiwa bukan sebaliknya. Jiwa berada didalam alam spiritual sedangkan jasad di alam materi.
Menurut al-ghazali, kendatipun para filsuf muslim meyakini keabadian jiwa, tetapi pembuktian mereka dengan  akal, hanya bisa ketaraf kemungkinan. Pengetahuan pasti tentang keabadian atau kebaqo’an hanya diberikan oleh agama. Persoalan yang muncul, bagaimana meyakinkan orang yang ragu-ragu terhadap informasi agama. Bagi al-ghazali, jiwa berasal dari ilahi yang mempunyai potensi kodrati (ashl al-fithrah). Yaitu kecendrungannya kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian. Pada waktu lahir, ia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat (alam al-amr, Q.S. 17 :85) sedangkan jasad berasal dari alam al halq. Karena itu kecendrungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya. Karena itu, jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, namun kerap kali diredam keinginan duniawi.

KESIMPULAN
Al-ghzali adalah seorang filsuf islam alam  beraliran tasawuf yang menentang para filsuf islam, yang menurut al-ghazali pemikiran mereka keluar dari aqidah islam.
Karya-karya al-ghazali
·         Maqoshid Al-falasyifah (tujuan – tujuan para filusuf), sebagai karangannya ynag pertama dan berisi masalah-masalah filsafat.
·         Tafahut al-falasifah (kekacauan pikiran para filusuf), buku ini dikarang sewaktu ia berada di Baghdad.
·         Mi’yar al-ilm (criteria ilmu-ilmu)
·         Ihya ulum al-dien (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalm keadaan berpinndah-pindah  antara Damaskus, Yerusalem, Hijjaz, dan Thus yang berisi paduan antara pikih, tasawuf, dan filsafat.
·         Minhaz Al-Abidin (jalan mengabdikan diri kepada Tuhan)
·         Al-iqtishab fi al-I’tiqod (moderasi dalam aqidah), dan masih banyak lagi karangan atau karya besarnya.
Pemikirannya dalam bidang
a.       efistimilogi, menurut al-dzawq(intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercanya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya.
b.      Metafisika
c.       Jiwa
d.      Moral.






Daftar pustaka



[1] A mustofa, filsafat islam pustaka setia; bandung 1997
[2] Al-ghazali, al munqiidz min ad-dhalal( karo: al- matba’ah al al-islamiyah, 1977) hal 21-22
[3] Al-ghazali ihya ulum al-dien jilid 3

1 komentar:

  1. The Slots at Cafe Casino – A Real Casino Site | ChoegoCasino.com
    Visit our website 카지노사이트 and start playing your favourite casino games. We have more หาเงินออนไลน์ than 바카라 사이트 1500 games and we are looking forward to welcoming you

    BalasHapus